Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kisah 'Atikah Binti Zaid Istrinya Para Syuhada

Kisah Atikah Binti Zaid Istrinya Para Syuhada

Kisah Atikah Binti Zaid Istrinya Para Syuhada
Gambar : www.muslimahnews.com


Nama dan nasabnya:

Namanya adalah 'Atikah binti Zaid ibn Amru bín Nufail bin 'Adi ibn Ka'ab. Ibunya adalah Ummu Kurz binti Al Khadhrami bin Ammar dengan Umar bin Al Khaththab radhiyallahu 'anhu, nasabnya bertemu di Nufail.

Ke Islamannya:

Ia memeluk Islam dan membaiat dirinya kepada Rasulullah SAW, hijrah ke Madinah kemudian ia komitmen terhadap ajaran Islam dengan baik.

Pernikahannya:

'Atikah binti Zaid menikah dengan Abdullah bin Abu Bakar, ia terkenal dengan kecantikan dan keshalihannya, maka suaminya sangat mencintainya sehingga melalaikankannya dari jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan amal lainnya, maka Abu Bakar ayahnya menyuruh untuk mentalaknya, tetapi ia mengatakan dalam untaian syairnya:

“Mereka mengatakan ceraikan istrimu dan berpisahlah dari tempatnya, tetapi jiwaku selalu mengharapkannya sehinga terbawa mimpiku”.

“Apakah aku harus menceraikan istri yang telah aku jalin selama ini, padahal aku tidak menginginkannya karena ia adalah satu-satunya pujaan hatiku”.

Abu Bakar terburu-buru kembali ke rumahnya pada waktu petang untuk mengintainya. Kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiiq melihat Abdullah bin Abu Bakar dari loteng atas sedang mengalukan syairnya pada hari jum’at. Setelah Abu Bakar usai menunaikan Shalat Jum’at, ia berkata, “Wahai Abdullah, apakah Anda telah menunaikan shalat Jumat?" Anaknya kemudian balik bertanya, “Apakah shalat Jumat telah usaí?" Abu Bakar menjawab, “Ya", kemudian Abu Bakar melanjutkan, "Anda telah disibukkan oleh istrimu dengan mencari harta dunía dan bisnis, hingga Anda meninggalkan kewajiban shalat, ceraikan saja istrimu itu!”

Kemudian ia menjatuhkan talak satu kepadanya, kemudian istrinya pergi ke samping, dan pada suatu malam ketika Abu Bakar sedang menunaikan shalat malam di atas loteng rumahnya ia mendengar Anaknya melantunkan syair cinta untuk istrinya:

“Wahai Atikah, hatiku tidak pernah akan melupakanmu selama mata hari terbit dari timur, karena burung Al qamar tidak pernah lupa terhadap sarangnya”.

“Wahai Atikah hatiku selalu terikat denganmu setiap siang dan malam hari, dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.”

“ Kecantikanmu sungguh menawan, pendapat dan tutur katamu sungguh manis, Anda terbalut dengan rasa malu nan suci.”

“Aku belum pernah melihat seorang pun seperti diriku ini, mentalak seorang sosok istri sepertimu, tidak ada seorang istri pun yang rela diceraikan tanpa alasan”.

Ketika itu Abu Bakar mendengar alunan bait syairnya ini dan bergegas menghampirinya, kemudian ia merasa iba kepadanya seraya mengatakan, “Wahai Abdullah, rujuklah kepada Atikah, sepontan ia mengatakan, "Saksikan bahwa saat ini pula saya merujuknya, kemudian ia bertemu dengan budaknya yang bernama Aiman, seraya mengatakan kepadanya, “Wahai Aiman, sekarang Anda merdeka karena Allah SWT dan saksikan bahwa saya telah kembali pada Atikah."

Kemudian ia keluar menuju rumah Atikah melewati jalan belakang rumahnya, dengan mengalunkan bait-bait syairnya:

Wahai Atikah, dinda telah aku cerai tanpa alasan yang benar, dan saat ini aku telah merujukmu dengan alasan yang telah ditakdirkan.

Begitulah takdir Allah SWT menimpa setiap manusia baik ketika senang maupun ketika sedih.

Hatiku belum menerima untuk berpisah denganmu, selalu terbang menerawang ke pangkuanmu, dan setelah Allah SWT mendekatkan hatiku kembali denganmu kini merasa tenang.

Aku ingin menjelaskan padamu bahwa aku tidak pernah marah padamu, dan sungguh dirimu memang sempurna dengan kebaikan.

Sungguh Anda telah di hiasi dengan kecantikan oleh Allah, dan tidak ada seorang pun yang tercela karena telah dihiasi oleh-Nya.

Ketika ia merujuknya ia memberikannya sepetak kebun miliknya dengan syarat tidak akan menikah dengan siapapun sepeninggalnya, kemudian setelah ia meninggal sebagai syahid di medan pertempuran Atikah sangat sedih sekali, seraya mengalunkan syair kesedihannya:

“Demi Allah SWT, ia adalah seorang pemuda gagah perkasa, menyerang dan bertahan di medan pertempuran dengan penuh kesabaran. Tiba-tiba sebuah anak panah membidiknya yang menyebabkannya syahid dan masih tertancap di tubuhnya sebuah anak panah yang berwarna merah. Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu walaupun hingga mata ini sakit dan kulit menjadi keriput dan berdebu. Selama hayat masih di kandung badan, walau seeckor malam yang pekat tidak mampu menolak datangnya pagi yang terang”.

Kemudian Zaid bin Al Khaththaab menikahi Atikah sebelum Umar bin Al Khaththab, kemudian Zaid syahid di medan sepeninggalnya, Umar bin Al Khaththab melamarnya, ketika ia mengutus seseorang melamarnya ia mengatakan, “Kami mendengar bahwa Anda telah mengharamkan apa yang dihalalkan Allah untukmu? kembalikanlah kebun pemberian suami Anda kemudian menikahlah!".

Iia mengatakan, “Abdullah bin Abu Bakar telah memberiku sepetak kebun dengan syarat agar aku tidak menikah dengan siapa pun sepeninggalnya”. kemudian Umar mengatakan kepadanya, “Kalau demikian mintalah fatwa, kemudian ia meminta fatwa kepada Imam Ali bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhu, dan ia mengatakan, “Kembalikanlah kebun Anda kepada keluarganya dan kemudian menikahlah”, setelah itu Umar bin Khaththaab melamar dan menikahinya.

Kemudian setelah Umar berhubungan badan dengannya pada tahun 12 H, ia mengundang para sahabat Rasulullah SAW, di antaranya adalah Imam Ali radhiyallahu 'anhu, kemudian ia berkata kepada Umar, “Saya ingin mengucapkan sesuatu pada Atikah, suruhlah ia memakai hijab agar aku bisa berbicara dengannya.”

Kemudian aku mengambilkan kainnya untuk menutupinya sehingga tidak terlihat kecuali jemarinya, maka imam Ali mengatakan kepadanya, “Wahai Atikah, kemudian membacakan syair yang pernah di katakan olehnya, “Aku bersumpah tidak akan meninggalkanmu walaupun hingga mata ini sakit dan kulit berubah menjadi keriput dan berdebu.”

Maka Umar bertanya kepadanya, "Apa maksud Anda ini?. Ia menjawab , saya hanya mengatakan sesuatu yang tidak Anda tepati", ia membaca firman Allah SWT,

"Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan." (Qs. Shaf (61):2).

Inilah kata hati kecilku, aku sungguh mencintainya, semoga Allah SWT memberi jalan keluar.

Kemudian Umar mengatakan, “Apakah yang memotivasi Anda mengatakan hal itu wahai Abu Hasan! setiap wanita merasakan seperti itu.”

Kemudian setelah Umar syahid, Atikah juga mengalunkan syair kesedihannya:

“Saya sangat sedih dengan syahidnya permata yang indah yang selalu membaca Al Qur`an bersimpuh di hadapan-Nya bertobat.”

“Ia sangat menyayangi orang yang lebih rendah darinya, bersifat keras terhadap musuh, dialah suamiku yang teguh menghadapi setiap kesulitan.”

“Tidak pernah mengingkari perkataannya dan bergegas menunaikan amal shalih tidak pernah menyesalinya.”

Ia menyusun kembali bait-bait syair kesedihannya:

“Matanya selalu meneteskan air mata karena menyesali dosa-dosanya, tidak pernah bosan untuk merenung dan introspeksi diri.”

“Saya sangat sedih dengan hilangnya belaian kasih sang pahlawan yang memegang panji-panji di medan pertempuran dan ia cepat memenuhi panggilannya.”

“Sebagai pelindung semua rakyat laksana hujan yang tercurah dan ketika sedang berkecamuknya peperangan.”

“Sampaikan kepada orang-orang yang tertimpa musibah dan kesulitan carilah kematian! karena kini ia telah di beri minum dengan piala-piala kesyahidan.”

Kemudian ia mengalunkan syair kesediahannya kembali:

“Malam ini mataku tidak bisa terpejam karena ada sesuatu yang melintas dalam benakku seperti firasat dalam hatiku.”

“Wahai kegelapan malam yang menutupi bintang-gemintang, ia menjadikan orang-orang yang ingin bermunajat kepada Tuhannya tertidur lelap.”

“Kekhawatiranmu kctika itu menyebabkanku resah dan pada hari ini mataku benar-benar tidak bisa terpejam.”

“Aku menangisi kepergianmu Amirul Mukminin sedang di sana berbondong-bondongorang yang takziah seperti lautan manusia.”

Ia membacakan syair pilu kembali:

“Siapakah yang mampu mengembalikan kesedihan jiwa yang meronta ini, dan menyembuhkan mata yang memerah karena kurang tidur.”

“Kini ia telah menjadi jasad yang dibalut dengan kain kafan,semoga Allah SWT mencurahkan rahmat-Nya pada jasad itu.”

“Sungguh itu sebagai peringatan bagi orang-orang yang berhutang kepada-Nya,karena ia tidak di beri keberkahan oleh Allah, dan berjalan dengan penuh kesombongan.”

Kemudian setelah iddahnya selesai Zubair bin Awwam melamarnya, dan setelah ia menjadi istrinya Zubair mengatakan kepadanya, “Wahai Atikah jangan Anda pergi ke masjid, pada waktu itu fisiknya sangat sehat dan cantik, ia menjawab, “Wahai Ibnu Zubair, apakah karena kecemburuanmu Anda melarangku pergi ke mesjid yang pernah aku shalat bersama Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar di sana?" ia menjawab, “Kalau demikian saya tidak akan melarangmu.”

Kemudian setelah ia mendengar adzan shalat Subuh Zubair berwudhu dan pergi ke masjid, kemudian ia bersembunyi di bawah atap Bani Saidah, kemudian ketika Atikah melewatinya ia memukul punggungnya dengan tangannya, sepontan ia mengatakan, “Ada apa dengan Anda?, semoga Allah SWT memutuskan tanganmu". Kemudian ia kembali pulang ke rumah, kemudian sepulangnya dari masjid ia menanyakan, “Wahai Atikah, kenapa saya tidak melihatmu di masjid?”, ia menjawab, "Semoga Allah SWT mencurahkan rahmat kepadamu wahai Abu Abdullah, kini orang-orang telah rusak akhlaknya, sekarang shalat di rumah lebih baik daripada shalat di masjid."

Kemudian setelah Ibnu Zubair meninggal, ia kembali mengalunkan syair kesedihannya:

“Ibnu Jarmuz telah mengkhianati seorang pahlawan yang sedang mengalami kepayahan, pada pertempuran yang dahsyat namun ia tidak mau berpaling melarikan diri.”

“Wahai Amru, seandainya Anda mengingatkannya pasti tidak akan salah, sungguh lidah dan tangan ini bergetar.”

“Semoga tangan kananmu lumpuh karena Anda telah membunuh seorang muslim, laknat dan doa seorang syahid pasti akan menimpamu.”

“Sungguh Zubair itu memiliki doa yang terkabul karena kedudukannya yang mulia”.

“Betapa banyak kesulitan yang tidak pernah menjadikannya membelot sedikitpun, apalagi bidikanmu untuk membunuhnya wahai anak kera.”

“Pergilah Anda ke neraka, Anda tidak akan pernah mendapatkan keselamatan seperti halnya yang ia raih dan sahabat-sahabatnya yang telah mendahuluinya.”

Kemudian setelah Zubair syahid ia mengutus anaknya yang bemama Abdullah kepada Atikah binti Zaid kemudian ia berkata kepadanya, “Semoga Allah merahmati Anda, Anda adalah seorang wanita dari Bani Adi, dan kami dari bani Asad, jika Anda campur tangan dalam harta kami maka akan merugikan kami". kemudian ia berkata, “Saya sependapat dengan Anda wahai Abu Bakar, seberapa pun yang Anda berikan kepadaku pasti aku akan menerimanya." Kemudian ia memberikannya delapan puluh ribu dirham, kemudian ia menerimanya dan berdamai dengannya.

Kemudian Imam Ali radhiyallahu 'anhu meminangnya setelah selesai iddanya dari Abdullah bin Zubair, kemudian Atikah mengutus seseorang kepadanya dan mengatakan, "Saya tidak menginginkan Anda terbunuh wahai sepupu Rasulullah SAW!"

Kemudian Imam Ali bin Abu Thalib berkata, "Barangsiapa yang ingin menyongsong mati syahid di hadapannya hendaknya ia menikah dengan Atikah!"

Sepeninggal Imam Ali, Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib melamarnya, kemudian ia syahid dan ia adalah yang pertama kali yang mengangkat pipi beliau dari tanah, dan melaknat orang yang membunuhnya dan juga orang-orang yang rela dengan pembunuhannya, kemudian ia mengalunkan syair kesedihan terhadap kepulanganya:

“Wahai Husain, saya tidak akan pernah melupakanmu, ketika lehernya ditebas oleh tajamnya pedang para musuh.”

Mereka mengkhianatinya di padang Karbala untuk membunuhnya, menuduhnya dan membantainya di padang nan jauh di sana padang Karbala.

Kemudian Atikah tidak mau menikah sesudahnya, pada waktu itu Abdullah bin Umar mengatakan, “Barangsiapa yang menginginkan mati syahid hendaknya ia menikah dengan Atikah”, kemudian Marwan melamarnya sepeninggal Imam Husain, tetapi ia menolaknya, dengan mengatakan,“Saya tidak akan mencoreng diri saya dengan lumpur setelah mendapatkan kesucian Rasulullah SAW.”

Meninggalnya Atikah:

Pendapat yang kuat bahwa wafatnya Atikah binti Zaid radhiyallahu 'anha pada tahun 40 H. untuk lebih lanjut hendaknya pembaca merujuk pada beberapa buku berikut ini:

1. Thabaqat ibnu Sa'ad (8/265)

2. Al Mu'jam Al Kabiir(24/348)

3. Al Istii'ab (4/1876)

4. Asadul Ghabah(7/183).

Sumber : Istri dan Suami yang Ideal Menurut Rasulullah SAW, Majdi Fathi Sayyid

Post a Comment for "Kisah 'Atikah Binti Zaid Istrinya Para Syuhada"