REAL OR UNREAL Chapter 2 - Memories That Hold Wounds (Kenangan yang Menyimpan Luka)
REAL OR UNREAL
Chapter 2 - Memories That Hold Wounds (Kenangan yang Menyimpan Luka)
Gambar : Ilustrasi
Angin sore berembus pelan, menggoyangkan dedaunan di sekitar lapangan yang mulai sepi. Jay duduk di sebuah bangku kayu yang mulai rapuh, menatap kosong ke lapangan yang tak lagi ramai. Di sampingnya, Tia duduk dengan tenang, sesekali melirik sahabatnya yang tampak tenggelam dalam lamunan.
Jay terdiam, pikirannya terhanyut dalam kenangan masa lalu-masa-masa di mana ia hanya tinggal bersama Mama dan Ji-hoon.
Saat ia masih kecil, keluarganya bukanlah keluarga yang sempurna. Ayahnya pergi setelah perceraian, meninggalkan mereka bertiga. Mamanya berjuang seorang diri, bekerja dari pagi hingga larut malam untuk memastikan kedua anaknya bisa makan dan tetap bersekolah.
Tapi dunia seakan terlalu kejam pada mereka.
Empat tahun setelah perceraian itu, ibunya mengalami kecelakaan tragis. Saat sedang pulang dari berbelanja kebutuhan rumah, sebuah truk besar yang melaju kencang menabraknya. Mama meninggal di tempat.
Jay masih ingat bagaimana tubuh kecilnya berlari ke arah kerumunan, melihat sosok yang dulu selalu ia peluk kini terbaring tanpa nyawa di jalan yang basah oleh hujan. Ji-hoon, yang saat itu baru berusia dua belas tahun, hanya bisa berdiri kaku, matanya memerah menahan tangis. Ia menggenggam tangan Jay erat, seakan itu satu-satunya cara untuk tetap kuat.
Sejak saat itu, Ji-hoon yang mengambil peran sebagai pengganti orang tua bagi Jay.
Namun, sekarang... Ji-hoon juga telah pergi.
Jay menghela napas panjang, menatap langit yang mulai berubah warna.
"Jay?"
Suara lembut namun penuh rasa ingin tahu membuyarkan lamunannya. Tia duduk di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi penuh perhatian.
"Kau melamun lagi," ujar gadis itu.
Jay menoleh sekilas sebelum kembali menatap kosong ke depan. Namun, pertanyaan Tia berikutnya membuatnya terkejut.
"Sebelum Kak Ji-hoon pergi, apakah ada sesuatu yang mencurigakan?"
Jay terhenyak. Pertanyaan itu seakan membangkitkan sesuatu yang selama ini ia abaikan. Perlahan, ia mulai mengingat kembali hari-hari sebelum kakaknya menghilang.
"Sepertinya... Kak Ji-hoon sempat keluar rumah tengah malam," gumamnya pelan, mencoba mengingat lebih jelas.
Tia menajamkan pandangannya. "Keluar tengah malam? Ngapain?"
"Aku juga nggak tahu..."
Tia berpikir sejenak, lalu berkata, "Sudah coba periksa kamarnya?"
"Periksa?" Jay menatapnya dengan bingung.
"Ya, siapa tahu dia meninggalkan sesuatu yang bisa menjelaskan semuanya," ujar Tia.
Jay terdiam. Saran itu masuk akal. Ji-hoon pasti meninggalkan sesuatu... sesuatu yang belum pernah ia sadari sebelumnya. Hari semakin larut, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Setibanya di rumah, Jay tak membuang waktu. Ia langsung menuju kamar Ji-hoon, tempat yang jarang ia masuki sejak kepergian kakaknya.
Udara di dalam terasa dingin dan sunyi. Semua barang masih tertata rapi, seolah Ji-hoon masih tinggal di sana. Tapi entah kenapa, Jay merasa ada sesuatu yang tersembunyi. Tanpa pikir panjang, ia mulai menggeledah kamar itu. Tangannya meraba setiap sudut, membuka laci, memeriksa bawah tempat tidur-hingga akhirnya, sesuatu menarik perhatiannya.
Di atas lemari yang penuh debu, ada sebuah amplop lusuh. Hatinya berdegup kencang saat ia meraihnya dan meniup debu yang menyelimuti permukaannya. Dengan tangan gemetar, Jay membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar surat.
Mata Jay membacanya dengan cepat.
"Jay, jika kau membaca surat ini, berarti aku mungkin sudah tidak ada di sisimu lagi. Aku tidak punya pilihan selain bergabung dengan organisasi ini. Aku tak ingin menjadi beban, dan aku ingin memastikan kau bisa bertahan di dunia ini. Maaf karena aku harus pergi tanpa pamit. Aku tahu ini tidak adil untukmu..."
Tangan Jay mulai bergetar, air matanya jatuh membasahi surat itu. Hatinya terasa hancur membaca kata-kata terakhir dari kakaknya.
Namun, itu belum selesai. Jay menghapus air matanya dan melanjutkan pencarian. Ia merunduk, mengintip ke bawah tempat tidur dan melihat sebuah kardus usang yang tertutup debu.
Dengan hati-hati, ia menariknya keluar dan membuka isinya. Di dalamnya, ada sebuah buku tebal berwarna biru tua. Ketika Jay membukanya, ia terkejut melihat isinya-sebuah album foto lama. Setiap halaman yang ia buka membawa kembali kenangan yang hampir ia lupakan. Ada foto dirinya saat kecil, digendong oleh sang Mama. Wajah wanita itu tampak lembut dan penuh kasih sayang. Di sebelahnya, Ji-hoon berdiri dengan senyum lebar, tangannya melingkari bahu Jay dengan protektif. Lembar demi lembar, kenangan itu menghantamnya dengan kuat. Sebuah foto ulang tahun Ji-hoon menarik perhatiannya. Di sana, Jay kecil terlihat berusaha meniup lilin berwarna biru dengan angka "10" di atasnya.
"Kakak, biar aku yang tiup lilinnya!"
Ji-hoon hanya tersenyum sambil mengelus kepala adik kesayangannya. "Kamu boleh tiup, tapi ini hari ulang tahunku, tahu?"
"Kalau kakak nggak izinin, aku bakal tetap tiup tanpa seizinmu!" seru Jay kecil dengan nada protes.
Sebelum sempat meniup lilin, tangan Mamanya tiba-tiba mengambil kue itu.
"Maaf ya, Jay. Tadi ada bagian yang rusak, jadi Mama mau memperbaikinya dulu, ya?"
Ji-hoon yang duduk di sebelah Jay mulai menahan tawa. Jay kecil yang polos hanya bisa terdiam sambil menggembungkan pipinya kesal.
"Berhentilah tertawa!"
Ji-hoon akhirnya tidak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak. Jay kecil tampak siap menyerangnya dengan kepalan tangan mungilnya. Melihat foto itu, Jay tanpa sadar tersenyum kecil. Namun, senyuman itu perlahan menghilang ketika ia menyadari satu hal. Semua anggota keluarganya kini telah pergi. Mata Jay terasa panas, tapi ia menahan air matanya. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ji-hoon meninggalkan sesuatu untuknya. Sebuah pesan tersembunyi yang harus ia temukan.
Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Jay menutup album itu dengan hati-hati, lalu berbaring di tempat tidur kakaknya, menatap langit-langit dengan penuh pikiran.
"Besok... aku harus menemukan jawabannya."
Dengan hati-hati, ia menariknya keluar dan membuka isinya. Di dalamnya, ada sebuah buku tebal berwarna biru tua. Ketika Jay membukanya, ia terkejut melihat isinya-sebuah album foto lama. Setiap halaman yang ia buka membawa kembali kenangan yang hampir ia lupakan. Ada foto dirinya saat kecil, digendong oleh sang Mama. Wajah wanita itu tampak lembut dan penuh kasih sayang. Di sebelahnya, Ji-hoon berdiri dengan senyum lebar, tangannya melingkari bahu Jay dengan protektif. Lembar demi lembar, kenangan itu menghantamnya dengan kuat. Sebuah foto ulang tahun Ji-hoon menarik perhatiannya. Di sana, Jay kecil terlihat berusaha meniup lilin berwarna biru dengan angka "10" di atasnya.
"Kakak, biar aku yang tiup lilinnya!"
Ji-hoon hanya tersenyum sambil mengelus kepala adik kesayangannya. "Kamu boleh tiup, tapi ini hari ulang tahunku, tahu?"
"Kalau kakak nggak izinin, aku bakal tetap tiup tanpa seizinmu!" seru Jay kecil dengan nada protes.
Sebelum sempat meniup lilin, tangan Mamanya tiba-tiba mengambil kue itu.
"Maaf ya, Jay. Tadi ada bagian yang rusak, jadi Mama mau memperbaikinya dulu, ya?"
Ji-hoon yang duduk di sebelah Jay mulai menahan tawa. Jay kecil yang polos hanya bisa terdiam sambil menggembungkan pipinya kesal.
"Berhentilah tertawa!"
Ji-hoon akhirnya tidak bisa menahan diri dan tertawa terbahak-bahak. Jay kecil tampak siap menyerangnya dengan kepalan tangan mungilnya. Melihat foto itu, Jay tanpa sadar tersenyum kecil. Namun, senyuman itu perlahan menghilang ketika ia menyadari satu hal. Semua anggota keluarganya kini telah pergi. Mata Jay terasa panas, tapi ia menahan air matanya. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ji-hoon meninggalkan sesuatu untuknya. Sebuah pesan tersembunyi yang harus ia temukan.
Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Jay menutup album itu dengan hati-hati, lalu berbaring di tempat tidur kakaknya, menatap langit-langit dengan penuh pikiran.
"Besok... aku harus menemukan jawabannya."
Bersambung.......................................
Penulis : Nayla Azkia
Posting Komentar untuk "REAL OR UNREAL Chapter 2 - Memories That Hold Wounds (Kenangan yang Menyimpan Luka)"